Kok dibilang "lagi"? Karena sebenarnya ini isue yang sudah pernah dibicarakan diawal tahun 2011 tapi kembali menjadi pembicaraan dalam satu minggu terakhir. Jadi sebenarnya suka atau tidak suka, mau atau tidak mau , perlahan tapi pasti ternyata Pemerintah tetap meneruskan rencana untuk melakukan Redenominasi pada mata uang Rupiah kita tercinta ini. Hal ini terbukti dengan disetujuinya rancangan Redenominasi oleh pemerintah pada pertengahan Maret 2011 kemarin. Sekarang tinggal menunggu apakah usulan tersebut akan mendapatkan persetujuan oleh DPR untuk dilaksanakan.
Secara konsep Redenominasi adalah proses dimana suatu pemerintahan, dalam hal ini Indonesia membuang 000 alias tiga nol dibelakang mata uang rupiah kita dengan tujuan untuk menyederhanakan penulisan, pencatatan, transaksi dan penyebutan kedepannya, akan tetapi tidak mengurangi nilai dari transaksi tersebut. Sehingga apabila kita sekarang mempunyai uang Rp. 1,000,000,- (satu juta rupiah), maka setelah Redenominasi uang kita akan menjadi "hanya" Rp. 1,000,- (seribu rupiah) mata uang baru. Nilai seribu rupiah baru ini akan bisa dipakai untuk membeli barang (transaksi) yang nilainya setara dengan satu juta saat ini.
Lho? Kalau sedemikian simpel lalu kenapa banyak orang membicarakannya? Serta ada beberapa kelompok orang yang malah menentangnya? Hal ini tidak terlepas dari trauma masa lalu dimana pernah suatu ketika ada kejadian pemotongan nilai uang (Sanering) pada tahun 1959-1966. Kondisi hyper-inflasi saat itu yang menyebabkan pemerintah mengambil tindakan Sanering dimana nilai uang dari Rp. 500 dipotong menjadi Rp. 50 dan uang Rp. 1,000 dipotong menjadi Rp. 100,-.
Meskipun berbeda jenis, banyak anggota masyarakat yang nantinya tetap tidak dapat membedakan antara keduanya. Hal ini ditakutkan bisa menyebabkan kepanikan. Meskipun dalam prakteknya di beberapa negara lain yang telah melakukan Redenominasi sempat terjadi hyper-inflasi dalam beberapa tahun pertama diterapkan kebijakan ini. Hyper-inflasi ini sendiri sering terjadi karena banyak hal. Salah satu yang terpentik adalah efek psychologi kepanikan dari masyarakat yang "tidak percaya" memegang mata uangnya sehingga membelanjakan / membelikan aset. Alhasil hukum supply demand terjadi dan harga-harga barang bisa naik. Penyebab lainnya bisa terjadi karena ulah pengusaha / pedagang yang mungkin "nakal" yang ikut-ikutan menaikan harga jual barang/jasa mereka karena beranggapan harga mereka terlalu rendah. Terakhir kenaikan barang yang menyebabkan hyper-inflasi bisa saja terjadi karena adanya pembulatan harga keatas apabila tidak terdapat pecahan kecil untuk mata uang baru.
Oleh sebab itu akan dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar tidak ada pihak-pihak yang mencuri kesempatan "menaikan harga" jual dagangan mereka karena tiba-tiba harganya "terkesan" murah. Contoh kita makan steak “pinggir jalan” seharga Rp. 75,000 sampai dengan Rp. 100,000,- dengan adanya redenominasi mendadak harganya jadi "cuma" Rp. 75 dan terkesan mudah, maka steaknya dinaikin jadi Rp. 150,-. Lha steak yang sama ini langsung naik jadi 100% dari harga lamanya. Masih bagus kalau cuma naik 100%, kali aja dinaik dari Rp. 75 ke Rp. 750 bisa aja kan? Ini yang kemudian menjadikan hyper-inflasi.
Hyper-inflasi ini kemudian akan turun dan mereda beberapa tahun kemudian. Hal ini akan sangat dipengaruhi oleh kesiapan pemerintah dalam melakukan sosialisasi tentang Redenominasi ini serta melakukan operasi pasar untuk mencegah pengusaha dan pedagang nakal yang menaikan harga jual barang mereka. Atau kalau ini tidak dilakukan dengan hati-hati bisa berdampak kepanikan di masyarakat yang menganggap ini pemotongan uang lagi. Sehingga akibatnya orang akan memborong mata uang lain dan emas (LM) plus hyperinflasi akan semakin parah. Banyak negara-negara khususnya negara berkembang yang telah melakukan redenominasi ini. Sedangkan negara terakhir yang berhasil melakukan Redenominasi yaitu Turki dengan Lira nya. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mereka Redenominasi mata uang mereka dan cukup sukses dan berhasil.
Kembali ke niatan awal Pemerintah untuk me-redenominasi-kan rupiah. Untuk jangka panjang hal ini memang akan sangat berguna dan bermanfaat bagi rakyat dan martabat negara Kesatuan Republik Indonesia dan mata uang kita. Akan tetapi sekali lagi proses pelaksanaannya harus dilakukan dan dijaga dengan ketat. Serta proses sosialisasi yang harus dilakukan dalam jangka panjang agar tidak ada pihak-pihak yang mencari keuntungan dalam kondisi ini. Sehingga yang tadinya redenominasi salah satunya diniatkan untuk menekan inflasi malah justru menyebabkan hyper-inflasi berkepanjangan.
Secara konsep Redenominasi adalah proses dimana suatu pemerintahan, dalam hal ini Indonesia membuang 000 alias tiga nol dibelakang mata uang rupiah kita dengan tujuan untuk menyederhanakan penulisan, pencatatan, transaksi dan penyebutan kedepannya, akan tetapi tidak mengurangi nilai dari transaksi tersebut. Sehingga apabila kita sekarang mempunyai uang Rp. 1,000,000,- (satu juta rupiah), maka setelah Redenominasi uang kita akan menjadi "hanya" Rp. 1,000,- (seribu rupiah) mata uang baru. Nilai seribu rupiah baru ini akan bisa dipakai untuk membeli barang (transaksi) yang nilainya setara dengan satu juta saat ini.
Lho? Kalau sedemikian simpel lalu kenapa banyak orang membicarakannya? Serta ada beberapa kelompok orang yang malah menentangnya? Hal ini tidak terlepas dari trauma masa lalu dimana pernah suatu ketika ada kejadian pemotongan nilai uang (Sanering) pada tahun 1959-1966. Kondisi hyper-inflasi saat itu yang menyebabkan pemerintah mengambil tindakan Sanering dimana nilai uang dari Rp. 500 dipotong menjadi Rp. 50 dan uang Rp. 1,000 dipotong menjadi Rp. 100,-.
Meskipun berbeda jenis, banyak anggota masyarakat yang nantinya tetap tidak dapat membedakan antara keduanya. Hal ini ditakutkan bisa menyebabkan kepanikan. Meskipun dalam prakteknya di beberapa negara lain yang telah melakukan Redenominasi sempat terjadi hyper-inflasi dalam beberapa tahun pertama diterapkan kebijakan ini. Hyper-inflasi ini sendiri sering terjadi karena banyak hal. Salah satu yang terpentik adalah efek psychologi kepanikan dari masyarakat yang "tidak percaya" memegang mata uangnya sehingga membelanjakan / membelikan aset. Alhasil hukum supply demand terjadi dan harga-harga barang bisa naik. Penyebab lainnya bisa terjadi karena ulah pengusaha / pedagang yang mungkin "nakal" yang ikut-ikutan menaikan harga jual barang/jasa mereka karena beranggapan harga mereka terlalu rendah. Terakhir kenaikan barang yang menyebabkan hyper-inflasi bisa saja terjadi karena adanya pembulatan harga keatas apabila tidak terdapat pecahan kecil untuk mata uang baru.
Oleh sebab itu akan dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar tidak ada pihak-pihak yang mencuri kesempatan "menaikan harga" jual dagangan mereka karena tiba-tiba harganya "terkesan" murah. Contoh kita makan steak “pinggir jalan” seharga Rp. 75,000 sampai dengan Rp. 100,000,- dengan adanya redenominasi mendadak harganya jadi "cuma" Rp. 75 dan terkesan mudah, maka steaknya dinaikin jadi Rp. 150,-. Lha steak yang sama ini langsung naik jadi 100% dari harga lamanya. Masih bagus kalau cuma naik 100%, kali aja dinaik dari Rp. 75 ke Rp. 750 bisa aja kan? Ini yang kemudian menjadikan hyper-inflasi.
Hyper-inflasi ini kemudian akan turun dan mereda beberapa tahun kemudian. Hal ini akan sangat dipengaruhi oleh kesiapan pemerintah dalam melakukan sosialisasi tentang Redenominasi ini serta melakukan operasi pasar untuk mencegah pengusaha dan pedagang nakal yang menaikan harga jual barang mereka. Atau kalau ini tidak dilakukan dengan hati-hati bisa berdampak kepanikan di masyarakat yang menganggap ini pemotongan uang lagi. Sehingga akibatnya orang akan memborong mata uang lain dan emas (LM) plus hyperinflasi akan semakin parah. Banyak negara-negara khususnya negara berkembang yang telah melakukan redenominasi ini. Sedangkan negara terakhir yang berhasil melakukan Redenominasi yaitu Turki dengan Lira nya. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mereka Redenominasi mata uang mereka dan cukup sukses dan berhasil.
Kembali ke niatan awal Pemerintah untuk me-redenominasi-kan rupiah. Untuk jangka panjang hal ini memang akan sangat berguna dan bermanfaat bagi rakyat dan martabat negara Kesatuan Republik Indonesia dan mata uang kita. Akan tetapi sekali lagi proses pelaksanaannya harus dilakukan dan dijaga dengan ketat. Serta proses sosialisasi yang harus dilakukan dalam jangka panjang agar tidak ada pihak-pihak yang mencari keuntungan dalam kondisi ini. Sehingga yang tadinya redenominasi salah satunya diniatkan untuk menekan inflasi malah justru menyebabkan hyper-inflasi berkepanjangan.
0 komentar:
Posting Komentar